Jumat, 23 Desember 2011

Tentang Eksistensialisme Dan Kebebasan Manusia

It seems as though I were galley-slave, chained to death; every time life moves the chains rattle and death withers everything – and that happens every minute”
--Kierkegaard--

Dalam filsafat jelas sekali perbedaan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia. Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan.
Berbicara mengenai Konteks sejarah pekembangan Filsafat, Salah Satu aliran filsafat barat kontemporer (abad ke-20 ) yang paling banyak dibicarakan adalah Eksistensialisme2. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para Filsuf eksistensialis tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada.

Eksistensialisme sendiri merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I dan berkembang di Perancis pada perang dunia II. Tidak mudah dalam mengartikan arti eksistensialisme itu. Karena didalamnya terkandung berbagai macam aliran yang tidak sungguh- sungguh sama. Walaupun begitu secara umum eksistensialisme dapat diartikan sebagai suatu aliran Filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia Individu yang bertanggungjawab atas kemauanya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam tentang mana yang benar dan mana yang salah. Sebenarnya bukanya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, melainkan seorang eksistensialis menginsyafi bahwa kebenaran selalu bersifat relatif. Dan oleh karena itu maka masing-masing Individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Cukup sulit memang memastikan dengan pasti kapan aliran eksistensialisme untuk pertama kalinya lahir, namun banyak pihak yang meyakini bahwa tanah kelahiran dari eksistensialisme berada di tanah Denmark dan Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dianggap sebagai Tokoh perintis eksistensialisme. Sebenarnya Kierkegaard sendiri tidak melihat dirinya sebagai filsuf, melainkan seorang teolog yang religius. Filsuf melankolis ini dalam filsafatnya menggambarkan betapa besarnya kebebaan yang dimiliki oleh manusia dengan mengangkat kisah tentang manusia pertama yaitu Adam. Dikisahkan Tuhan telah melarang Adam untuk yang memakan buah pengetahuan disurga, namun larangan tersebut berarti bahwa “Ia dapat memakannya” (dalam hal ini Adam bebas melakukannya), disini Adam memiliki kemungkinan yang besar untuk memakannya. Dan seperti yang kita ketahui bersama pada akhirnya Adampun memakan buah tersebut sehingga ia diturunkan kedunia ini.
Terkait dengan hal yang diatas, Aliran filsafat kierkegard sebetulnya adalah sebuah reaksi kritik atas aliran filsafat Hegel yang didalamnya Kierkegaard mengkriktik tajam tentang Idealisme absolut yang dikembangakan oleh Friederick Hegel. Kierkegard melihat Idealisme absolut ini sebagai ancaman terbesar bagi eksistensi manusia individual. Oleh karena itu Kierkegaard tergerak untuk memperjuangkan eksistensi manusia individual. Baginya, pemikiran spekulatif abstrak milik Hegel hanya mencapai pengetahuan hipotesis. Sebaliknya, pemikiran eksistensial-lah yang mencapai pengetahuan aktual, yaitu eksistensi individual yang kongkret. Kierkegaard dengan yakin mengatakan bahwa suatu pemikiran yang sesungguhnya adalah pemikiran yang berfokus pada “individu”. Manusia sebagai individu yang bereksistensi tak dapat terhindar dari kenyataan bahwa ia selalu diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan, keputusan-keputusan, cita-cita bagi hidupnya sendiri. walaupun metode logika Hegel mampu melingkupi berbagai kemungkinan realitas dan pokok-pokok umum, namun Hegel tidak pernah dapat menjelaskan keadaan eksistensi aktual. Hegel memfalsifikasikan pengertian manusia tentang realitas karena mengarahkan haluan filsafatnya pada konsep-konsep universal dan bukan pada individu yang kongkret. Sedangkan Bagi Kierkegaard sendiri, filsafat harus menyentuh realitas atau problem aktual dari manusia sebagai individu yang bereksistensi. Karena itu, Kierkegaard memprioritaskan “yang pertikular” dari “yang universal” dengan tesis dasar bahwa seorang individu akan mencapai eksistensi sejati apabila ia hidup secara personal di hadapan Allah, mendengarkan suara Allah yang menggema di dalam dirinya dan bertindak atasnya.6 Di sini, Kierkegaard amat menekankan kesadaran personal dari individu dalam mengikuti kehendak partikularnya, dan bukan sekedar hanyut dalam arus kehendak universal dari komunitas. Pada intinya, Kierkegaard mengajak orang untuk menghidupi eksistensinya, terlibat dalam pengalaman-pengalaman eksistensialnya.
Selain itu aliran Eksistensialisme juga merupakan sebuah reaksi kritik terhadap pandangan Materialisme Marx. Paham materialisme memandang bahwa manusia itu hanyalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya. Sementara paham eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme berusaha menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Dapat dikatakan bahwa eksistensialisme betul-betul berusaha mengungkap manusia yang utuh sebagai eksistensi yang mendahului esensinya, sebab eksistensi manusia itu bukanlah selesai mantap, akan tetapi sebaliknya, terus mengada. Manusia menyadari keterbatasannya serta temporalitasnya. Lewat itulah dia membuka kemungkinan-kemungkinan sambil memproyeksikan dirinya kedepan, karena dia adalah makhluk temporal. Eksistensialisme memandang makhluk manusia adalah yang paling sadar waktu. Masa lalu, masa depan dan masa kini adalah tunggal dalam penghayatannya. Bahkan yang lebih khas masa kini dengan segala kondisi perangkatnya dikonstitusikan sebagai potensi bagi masa depannya yang diselipi dengan kekhawatiran dan kecemasan.

Kebebasan sebagai bagian dari eksistensialisme
Seperti yang sudah diutarakan diatas, Eksistensialisme sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat barat selalu mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan pertama dan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme ialah kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? Dan sesuai dengan doktrin utamanya tentang kebebasan. Maka Eksistensialisme akan menolak mentah-mentah segala macam bentuk determinasi.
Jika kita cermati tema mengenai kebebasan merupakan salah satu suatu tema yang menjadi perdebatan sengit dalam sejarah Filsafat. Pada zaman Yunani klasik, kebebasan dianggap masih bersifat hibris. Bangsa Yunani menerima begitu saja determinasi hukum kosmik dan otoritas para dewa. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yunani pada saat itu menganggap bahwa segala sesuatunya sudah ditentukan dan manusia harus pasrah akan nasibnya. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap bahwa otoritas para dewa tersebut bersifat pasti dan mutlak. Kesangsian manusia terhadap eksistensi, otoritas dewa, dan penguasa langit pastilah terkutuk.
Fatalisme sebagai aliran yang mengatakan bahwa manusia terjebak dalam lingkaran determinasi menyatakan semua kejadian telah ditentukan dan tidak dapat diubah oleh manusia. Ajaran fatalisme menyatakan bahwa segala kejadian dalam hidup manusia telah ditentukan sejak semula. Manusia dan kehendaknya tidak ikut menentukan jalannya kejadian-kejadian. Nasib manusia telah ditentukan dan tidak ada hubungannya dengan pilihan, keputusan, dan tindakan-tindakanya. Pandangan seperti ini lahir karena fakta bahwa manusia tidak memeiliki kekuatan dalam menghadapi kematian.
Pada abad-abad pertama kristianitas, pengaruh kebebasan hibris dirasakan masih sangat kental. Namun Alexander aphrodisensi9 yang seorang anti fatalisme menolak segala macam bentuk determinasi. Untuk membuktian pendiriannya, Ia mengemukakan bahwa dalam gerak spontan (kinesis anaitios), semuanya aktif bergerak secara unik dan tak terbandingkan serta tanpa campur tangan manusia. Ini berarti kebebasan absolut manusia pun tidak tergantung pada faktor-faktor lain.
Setelah itu Kebebasan manusia sangat ditekankan dan dijunjung tinggi oleh para filsuf-filsuf eksistensialis, karena inti keseluruhan dari paham eksistensialisme adalah kebebasan itu sendiri. namun disisi lain muncul pemikiran yang menyatakan bahwa sebenarnya manusia adalah tidak bebas. Paham ini menganggap bahwa tindakan-tindakan seseorang telah ditentukan oleh kekuatan lain yang berada jauh diluar jangkauan manusia. Beberapa ahli Psikologi mengatakan bahwa kebebasan pada manusia adalah suatu hal yang mustahil. Mereka menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya manusia terlihat bebas, tetapi sebenarnya manusia ditentukan, dikekang dan dipaksa dalam segala perbuatanya. Baik berasal dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya.
Pada dunia sains pandangan yang sangat bertentangan dengan kebebasanpun sangat besar. Para scientist berpandangan bahwa determiniseme merupakan hal yang wajar dan dapat diterima oleh akal sehat. Alam semesta dan bagian-bagiannya selau diatur dalam hubungan kausalitas (sebab akibat). Determinasi menerapkan hukum kausalitas yang tidak hanya pada fenomen fisik melainkan fenomen sosial. Bagaimanapun kehidupan manusia yang sadar , termasuk pilihan-pilihannya serta keputusan- keputusannya hanyalah ungkapan dari pikiran dan keinginan yang tidak sadar, karena itu manusia tidak bertanggungjwab pada tindakannya, karena ia berada dibawah pengaruh kekuatan tidak sadar yang tidak dibawah kekuasaanya.
Namun dalam perdebatan apakah manusia bebas atau tidak bebas, saya lebih sepaham dengan para filsuf eksistensialis yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan. Seperti yang pernah dikatakan oleh william James10 yang berpendapat bahwa diantara dua pilihan atau lebih, lebih dari satu pilihan berada dihadapan kita dan mungkin dilakukan, tetapi hanya satu yang dapat sungguh-sungguh terjadi. Dan kebebasan itu terbatas pada tindakan dan pilihan kita secara sadar.


Kebebasan manusia menurut Sartre
Bagi Sartre manusia adalah pusat perhatian, pusat pengamatan dan pusat tindakan. Sama seperti Humanisme13 abad XX, Sartre mengangkat kembali martabat manusia sebagai makhluk yang bebas dan subjek otonom. Lebih tegas lagi dalam ceramahnya yang berjudul eksistensialisme adalah humanisme, ia menyatakan bahwa eksistensialisme adalah ajaran yang menghargai kehidupan manusia, dan mengajarkan bahwa setiap kebenaran maupun tidakan mengandung ketertiban lingkungan dan subjektivitas manusia.
Hal ini berarti bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan oleh eksistensinya itu, tidak lain adalah dirinya sendiri yang mempertanggungjawabkannya. Dalam kenyataanya manusia selalu dihadapkan pada pilihan yang baik ataupun pilihan yang kurang baik. Setiap pilihan yang dijatuhkan pada alternatif -alternatif itupun adalah dasar pilihannya sendiri. Ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, bahkan tidak bisa pula menggantungkan keadaanya pada Tuhan.
Sartre dengan tegas menyatakan bahwa Kebebasan manusia tampak sekali dalam kecemasan. Dan Kecemasan menyatakan kebebasan. Sartre membedakan ketakutan (fear) dan kecemasan (anxiety). Sebagai contoh sartre mencontohkan bahwa ketika saya berdiri ditebing jurang yang tinggi dan terjal. Saya menoleh kedalam. Saya merasa cemas. Lalu dapat saya bayangkan apa yang akan terjadi jika saya menerjunkan diri kedalam jurang. Semua itu benar-benr tergantung pada diri saya sendiri tentang apa yang akan saya perbuat: Terjun kedalam atau dengan hati-hati melangkah mundur dan mencari tempat yang aman. Pada saat itu tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan diri ataupun memaksa saya untuk turun kejurang tersebut. Bahwa hanya saya yang bertanggungjwab akan perbuatan saya, menyebabkan suatu kecemasan tersendiri. Dan kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya ditentukan oleh diri saya sendiri.
Yang sangat menarik dalam argumen ini adalah bahwa sejatinya manusia bisa saja menutup matanya bagi kebebasan dan melarikan diri dari kecemasannya. Namun bagi Sartre manusia tentu harus mengetahui dengan pasti apa yang disembunyikan dan dijauhkan, maka melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan, kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya dan serentak juga menyangkal kebebasan itu. Yang kemudian sikap tidak otentik ini oleh sartre disebut dengan malafide. Dalam sikap malafide, manusia dengan jelas terlihat kemungkinan bagi manusia untuk mengakui dan menyangkal apa yang dihayatinya. Dapat dikatakan bahwa dalam sifat malafide ini manusia seolah- olah menipu dirinya sendiri. Hal itu tercermin dngan jelas ketika ada orang yang mengatakan : “Sifat saya begitu, apa boleh buat?”.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa inti dari pemikiran eksistensialisme Sartre adalah bahwa “kebebasan” menjadi sebuah kata kunci yang “sakral”. Kebebasan tidak merupakan salah satu ciri yang menandai manusia, disamping sekian banyak ciri lainnya. Namun manusia adalah kebebasan itu sendiri, Yang pada akhirnya Kebebasan itu menjadi bersifat absolut dan radikal. Tak ada batas bagi kebebasan selain ditentukan oleh kebebaan itu sendiri. Tanpa kebebaan eksistensi menjadi penjelmaan yang absurd, sekedar menjadi esensi belaka. Manusia selalu bertanggung jawab atas apa yang dipilihnya. Ia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri terhadap sesuatu diluar dirinya. Oleh karena
itu maka Manusia dipandang sebagai satu-satunya makhluk yang dimana eksistensinya mendahuli esensinya.

Kesimpulan
Manusia hidup dalam sebuah dunia yang menuntutnya untuk melakukan tindakan-tindakan dalam kehidupan kesehariannya. Namun, manusia juga dituntut untuk tidak begitu saja tenggelam dalam keseharian yang menjemukan tanpa disertai sebuah penghayatan terhadap kesehariannya tersebut. Oleh karena itu, tindakan keseharian manusia sebaiknya merupakan tindakan yang memiliki makna tertentu bagi keberadaannya di dalam dunia. Dengan demikian, setiap individu hendaknya menghayati secara terus menerus mengenai diri dan tindakannya dalam tiap kesempatannya sebab jika tidak demikian, individu hanya akan terjatuh dalam suatu rutinitas keseharian belaka tanpa makna.
Jika melihat sejarah dari aliran eksistensialisme maka dapat kita dapati bahwa eksistensialisme merupakan sebuah kritik perlawanan serta ketidaksetujuan terhadap aliran Idealisme ataupun materialisme, maka disini kita melihat perjuangan para filsuf eksistensialis dalam mencari arti kebebasan manusia yang otonom, merdeka, dan, bertanggungjawab.
Dalam pandangan klasik, kebebasan manusia selalu dipertentangkan dengan konsep determinisme (determinism), yakni paham yang berpendapat, bahwa semua pikiran, tindakan, dan perilaku manusia sudah ditentukan sebelumnya, baik secara sosial ataupun biologis. Ini berarti bahwa jika orang ditentukan oleh lingkungan sosialnya, atau oleh kondisi tubuhnya, maka orang tersebut tidaklah bebas. Inilah argumen yang coba dipertahankan oleh para ahli psikologi dan scientist.
Namun menurut saya, argumen ini tidaklah tepat. Kenyataan bahwa kita dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan biologis tidak berarti bahwa kita tidaklah bebas. Sebaliknya kebebasan, jika dipahami sebagai kemampuan manusia untuk mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan hidupnya, memutuskan berdasarkan pertimbangan itu, dan mengontrol dirinya dari hasrat-hasrat yang bertentangan dengan keputusan maupun tujuannya. Justru berada di dalam konteks lingkungan sosial maupun biologis manusia. Jadi kebebasan dan determinisme sebenarnya bukanlah hal yang perlu dipertentangkan. Dan dengan begitu maka dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia adalah merupakan hal yang absolut.

Man nothing else but his plan; he exist only to the extend that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the ensemble of his acts, nothing else than his life”
---sartre---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pojok Komentar !!! :D