Senin, 28 November 2011

Pertanyaan-pertanyaan filosofis


Sebelumnya ini adalah sebuah kiriman Milis dari seorang teman di yahoo groups yang saya posting ulang disini.


Saya berusaha menjawab keenam pertanyaan Anda, yaitu:

Anda kenal diri Anda (siapa Anda sebenarnya)?

Terdiri dari unsur apa sajakah Anda? Dimanakah Anda semestinya (hakikatnya)?

Apa tujuan Anda diciptakan ke dunia? Bagaimana hubungan Anda dengan sesama manusia?

Bagaimana hubungan Anda dengan Tuhan (apakah Anda juga kenal)?



Namun, sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas saya merasa perlu memberikan komentar-komentar tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Bertanya secara filosofis, menurut saya, merupakan bagian terpenting dari keseluruhan ranah berpikir filosofis. Dari pertanyan-pertanyaan itulah, nantinya, akan lahir berbagai jawaban-jawaban filosofis. Selanjutnya, pertanyaan dan jawaban tersebut berkelindan menjadi satu-kesatuan sistem filsafat. Terhadap pertanyaan Anda, tanpa memiliki prasangka apapun, saya beranggapan bahwa pertanyaan tersebut adalah mode- mode pertanyaan klasik dalam filsafat. Seluruh pertanyaan di atas, sedikit-banyak, harus diakui merupakan pertanyaan-pertanyaan yang telah coba dijawab oleh banyak filsuf mulai era awal perkembangan filsafat di Yunani. Pertanyaan di atas mulai dijawab secara intensif dan lebih mengarah ke akar-akarnya oleh Plato.

Pertanyaan nomor satu adalah pertanyaan yang cukup populer dalam dunia filsafat. Hampir semua sistem filsafat dari yang paling awal hingga filsafat postmodernisme mencoba menjawab pertanyaan ini. Kasus yang sama hampir serupa terjadi pada pertanyaan nomor lima. Akan

tetapi, pertanyaan ini kurang memiliki gaung di awal kemunculannya. Belakangan, pertanyaan nomor lima memang menjadi trend diskusi filsafat dibandingkan pertanyaan nomor satu, apalagi setelah lahirnya ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan semacam sosiologi dan antropologi. Walaupun demikian, pertanyaan nomor satu tetap bisa dijadikan bahan diskusi yang menarik mengingat munculnya bidang ilmu yang meneliti secara khusus jiwa manusia: psikologi.

Di lain pihak, pertanyaan-pertanyaan lain merupakan pertanyaan yang sudah jarang dipertanyakan dalam kancah filsafat saat ini. Memang, ada aliran filsafat semacam filsafat semacam filsafat parennial yang kembali mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Akan tetapi, kualitas dan kuantitas jawaban dari pertanyaan selain pertanyaan nomor satu dan nomor lima memang sudah jauh menurun seiring dengan berakhirnya era filsafat idealisme yang digawangi Hegel.

Terlepas dari popularitas, bobot, dan tingkat kefilosofian dari keenam pertanyaan, saya tetap mengapresiasi maksud Anda untuk bertanya. Bukan hanya faktor jarangnya individu yang bertanya secara filosofis melainkan juga jalinan pertanyaan di atas yang sepertinya saling berhubungan satu sama lain. Baiklah, saya akan mulai menjawab pertanyaan Anda secara berurutan:


Anda kenal diri Anda (siapa Anda sebenarnya)? Salah satu ciri dari pertanyaan filosofis yang melekat pada jawaban pertanyaannyaadalah jawaban pertanyaan tersebut tidak bisa dirangkai secara spontan layaknya merangkai huruf, kata, dan bai menjadi puisi. Dan salah satu pertanyaan filosofis yang membungkan sikap impulsif kita ketika hendak menjawab adalah pertanyaan mendasar tentang masalah eksistensi manusia: siapakah saya?

Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Bertanya “Siapakah Saya?” Kepada Orang Lain

Sejujurnya saya tidak bisa berkata tidak tertarik kala menghadapi pertanyaan ini sekalipun selama ini saya selalu menyerahkan hak untuk menjawab pertanyaan ini kepada orang-orang terdekat saya. Agaknya saya masih memercayai orang lain untuk menjawab pertanyaan yang pelik ini. Namun, kegamangan akan terasa di hati ketika saya menyadari bahwa saya-lah yang memilih orang-orang tersebut untuk menjawab pertanyaan ini untuk saya. Dengan kata lain, secara tidak langsung, saya-lah orang yang menjawab pertanyaan paling mendasar dalam lautan eksistensi manusia ini. Dengan demikian, menyerahkan jawaban pertanyaan siapakah saya? Kepada orang lain bukanlah suatu pilihan yang tepat untuk menjawab masalah filosofis ini. Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Menggunakan Bahasa Metaforis

Selain mode pertama, seringkali saya menjawab pertanyaan siapakah saya? Melalui bahasa-bahasa metaforis. Walaupun tidak bisa dianggap salah, menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan cara yang demikian bisa mengaburkan tujuan kita yang sebenarnya dari mendapatkan jawaban filosofis yang konsisten menjadi mendapatkan karya sastra yang indah. Dalam hal ini, saya tidak mengolok-olok para penyair sebagai para pemikir yang tidak filosofis atau bahkan tidak konsisten. Saya hanya ingin menekankan sifat ketidakpastian atau multi-interprestasi dari bahasa metaforis itu sendiri yang akan mengakibatkan jawaban akan menjadi ngawur dan tidak beraturan. Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Pendekatan Birokratis

Harus diakui bahwa pendekatan birokratis merupakan jawaban yang paling banyak dipilih oleh kita semua ketika dihadapkan kepada pertanyaan siapakah saya? Mengapa disebut pendekatan birokratis? Bagi saya itu hanya sekadar istilah yang mengingatkan kita kepada proses birokrasi yang kita jalani untuk menjawab pertanyaan siapakah saya? Lalu apa sebenarnya jawaban yang birokratis itu? Sederhana saja, bila saya ditanya siapakah saya? Maka saya akan menjawab: saya bernama X tinggal di Y anak dari Z. Ya, benar- benar jawaban yang lahir dari rentetan peristiwa birokrasi dan administrasi. Pembuatan akta kelahiran, KTP, SIM dan kartu identitas lainnya. Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Analisis Filsafat Eksistensi Melampaui semua variasi jawaban yang saya tawarkan sebelumnya, menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan analisis filsafat eksistensi merupakan hal yang paling logis dan sekaligus – bagi saya – hal yang paling menarik. Saya sebut paling logis karena aliran filsafat ini memang didedikasikan untuk menjawab pertanyaan siapakah saya? Dan saya sebut paling menarik karena dengan pendekatan ala filsafat eksistensi, saya dapat menelanjangi diri saya seutuhnya hingga ke bagian terdalam diri yang tidak pernah terjamah.

Dan dengan menggunakan pendekatan filsafat eksistensi, saya sendiri lebih suka menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan jawaban yang kira-kira seperti ini: Saya adalah segala sesuatu (apa saja) yang saya alami. Tidak penting apa sebenarnya saya atau

apa kodrat inheren saya, yang terpenting adalah saya pernah, sedang, dan akan mengalami. Mengalami apa? Segala sesuatu yang berada di luar diri saya.

Jawaban tersebut, bisa dibilang, bukanlah jawaban yang terdengar komprehensif dan memuaskan. Akan tetapi, sebagai landasan berkehidupan, jawaban di atas, saya rasa, adalah jawaban yang baik. Siapakah saya? Saya adalah saya yang mengalami. Dengan kata lain, saya belum selesai, masih banyak hal yang belum saya lakukan. Siapakah saya? Saya adalah saya yang bertindak, bertindak, dan terus bertindak. Siapakah saya? Saya adalah pertumbuhan yang senantiasa dan harus selalu bertumbuh. Pendalaman yang lebih dalam tentang kompleksitas jawaban siapakah saya? Akan saya bahas nanti di bagian jawaban pertanyaan nomor tiga.


Terdiri dari unsur apa sajakah Anda?

Tatkala saya memikirkan jawaban dari pertanyaan ini, mau-tidak-mau, saya harus berpikir tentang ilmu kimia. Dahulu kala, para filsuf-filsuf pertama yang berorientasi ke arah filsafat alam pernah berusaha menjawab pertanyaan ini. Dan bila saya bandingkan jawaban pertanyaan saya dengan jawaban para ahli kimia, jujur, saya lebih menaruh respek terhadap jawaban para ahli kimia. Oleh karenanya, saya mohon maaf bila kali ini saya menggunakan pendekatan kimiawi untuk menjawab pertanyaan ini.

Saya, Anda, kita manusia, menurut ilmu kimia terdiri dari beberapa unsur dan senyawa dasar. Kita terdiri dari air yang cukup untuk mengisi satu botol sedang aqua, besi yang cukup untuk membuat satu buah paku berukuran sedang, karbon yang berguna untuk membuat beberapa lembar plastik dsb. Dan menurut estimasi ahli kimia, jika barang-barang yang dihasilkan dari unsur tersebut dihitung secara ekonomis. Maka harga total barang tadi atau harga total “tubuh kita” adalah 7.000 rupiah.

Baiklah, di sini, bisa saja saya menjawab pertanyaan terdiri dari unsur apa sajakah saya? Dengan bermodalkan postulasi-postulasi filsafat abad pertengahan yang digawangi Descrates yang sudah jauh lebih maju dengan jawaban para filsuf alam di awal kemunculan filsafat. Namun, kata unsur yang mulai diambil ranah eksistensi oleh bidang ilmu kimia sedikit menyurutkan niat saya untuk menjawabnya secara filosofis.


Dimanakah Anda semestinya (hakikatnya)?

Nah, sekarang mungkin saat yang lebih tepat untuk menggunakan konsep filsafat abad pertengahan untuk menjawab pertanyaan: Apa hakikat diri saya? [catatan: sebenarnya saya mengalami kesulitan dalam menginterprestasi pertanyaan Anda yang menggunakan kata tanya di mana sementara dalam tanda kurung Anda menuliskan kata hakikat. Dalam filsafat pertanyaan tentang hakikat diri lebih umum dari pertanyaan tentang tempat seseorang berada. Oleh karenanya, saya menginterprestasi pertanyaan Anda menjadi apa hakikat diri saya?].

Seperti yang saya utarakan tadi, pertanyaan apa hakikat diri saya? Mulai mengemuka secara luas pada masa filsafat abad pertengahan. Rene Descrates adalah orang

yang bertanggung jawab terhadap mengemukanya pertanyaan ini. Descrates membuat suatu distingsi kaku bahwa diri terdiri dari pikiran/jiwa dan tubuh, yang keduanya benar-benar berbeda secara esensial. Di sini, saya tidak akan mencoba mengkritik konsep yang ditawarkan Descrates. Konsep tersebut, sekalipun terdengar sederhana, merupakan konsep yang melandasi banyak pemikiran filsafat pada abad selanjutnya mulai dari Hume sampai Kant.

Beralih ke konsep saya sendiri, saya menilai bahwa hakikat/esensi diri saya yang terpenting bukanlah jiwa, tubuh, jiwa-tubuh, ruh, atau bahkan jiwa-tubuh-ruh. Saya menyebut hakikat diri saya sebagai ke-kini-an atau ke-di sini-an saya. Bila saya menyebut jiwa, ruh, tubuh atau bahkan gabungan dari ketiga elemen tersebut sebagai hakikat saya, tidak-lain-tidak-bukan, saya menyebut bagian-bagian eksistensi saya sendiri sebagai esensi saya. Namun, manakala saya menyebut bahwa ke-kini-an dan ke-di sini-an sebagai esensi saya maka saya menyebut seluruh proses kehidupan saya mulai dari tubuh yang terberi (given) sampai saya yang sekarang telah menjadi esensi atau sesuatu yang inheren dalam tubuh saya. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, saya bisa menyebut kalau kehidupan sayalah yang menjadi esensi saya. Pilihan-pilihan saya-lah yang menjadi esensi/ hakikat saya.

Pendapat saya ini, saya rasa, sangat selaras dengan konsep beragama. Agama mengajarkan bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita lakukan. Mendapatkan apa yang menjadi esensi kita. Bila yang kita lakukan baik/esensi kita baik maka balasan yang kita terima baik, dan sebaliknya. Dalam filsafat, konsep yang saya anut ini juga dianut oleh seorang filsuf Denmark bernama Kierkegard. Kierkegard adalah filsuf yang menimbang esensinya sebagai apa-apa yang telah ia pilih dalam kehidupannya.


Apa tujuan Anda diciptakan ke dunia?

Bagi saya, pertanyaan ini mengandaikan beberapa syarat sebelum dijawab: pertama, Tuhan itu ada. Kedua, Tuhan yang menciptakan kita. Ketiga, tujuan kita diciptakan dimiliki oleh yang menciptakan kita, yaitu Tuhan. Sampai pada syarat ketiga, secara sepihak, saya bisa saja menjawab kalau tujuan saya diciptakan adalah sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Dan saya akan berkata: tujuan hidup saya mungkin bisa sama dengan tujuan saya diciptakan/tujuan Tuhan menciptakan saya, tetapi tetap saja dua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda. Oleh karenanya, dengan tetap mempertahankan syarat di atas, saya menjawab kalau pertanyaan ini tidak bisa saya jawab [hanya Tuhan yang bisa menjawab].


Bagaimana hubungan Anda dengan sesama manusia?

Seperti yang telah saya uraikan, pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan yang paling populer di era filsafat masa kini (filsafat postmodernisme). Tatkala ledakan populasi, perkembangan teknologi, dekadensi moral, kesimpang-siuran supremasi hukum, dan akulturasi tanpa batas agama + budaya terjadi di dunia yang semakin sesak, sangatlah menarik untuk menkaji secara filosofis hubungan sesama manusia.

Sekarang saya mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan membongkar pertanyaan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan kecil. Anda yang mengambil kesimpulan dari jawaban-jawabannya nanti. Di mana Anda berhubungan dengan sesama manusia? Di ruang sosial. Ruang sosial itu terdiri dari berbagai sektor/wahana/ranah/wilayah. Terkadang saya berinteraksi dengan mereka di sekolah, di rumah, di lingkungan berumah tangga, di mal dan masih banyak lagi. Apa masing-masing sektor punya ciri? Pasti. Dan ciri-ciri itu memberikan saya opsi untuk berhubungan dengan orang dengan cara tertentu. Secara sederhana, opsi yang saya punyai untuk berhubungan dengan orang di sekolah berbeda dengan opsi yang ada di rumah. Perbedaan kemungkinan/opsi inilah yang mengindikasikan bahwa setiap sektor memang punya ciri sendiri-sendiri. Berarti sektor menentukan kualitas dan kuantitas hubungan? Saya jawab YA. Karena kalau saya jawab tidak bagaimana mungkin saya bisa mencap kualitas buruk untuk sektor diskotik dan tempat hiburan malam. Pun saya selalu mengalami kuantitas hubungan yang pastinya akan berbeda dikarenakan perbedaan opsi dan kualitas sektor itu sendiri. Kalau demikian hubungan dengan manusia dibatasi oleh keterbatasan sektor secara spasial dan temporal serta secara potensial [maksudnya kita harus selalu mengikuti aturan yang ada di sektor tersebut]? Hubungan dengan orang lain, tanpa atau dengan mengikutsertakan konsep sektor, memang selalu berada secara spasial dan temporal, sedangkan aturan yang berada dalam sektor memang menjadi sesuatu yang harus kita penuhi bila kita berada di ruang sosial. Tugas kita hanyalah menyelaraskan apa yang hendak kita lakukan dengan aturan tersebut. Ruang sosial adalah tempat berhubungan, dan pastinya orang lain adalah objeknya? Jangan sesekali menyebut orang lain sebagai objek hubungan sosial. Orang lain juga penting, ingin dianggap penting, sama seperti kita menganggap diri kita penting. Oleh karenanya, sebut saja hubungan dengan sesama manusia sebagai intersubjektivitas.


Bagaimana hubungan Anda dengan Tuhan (apakah Anda juga kenal)?

Lagi-lagi untuk menjawab pertanyaan ini saya harus mengandaikan beberapa syarat [catatan: saya harus selalu melakukan hal ini untuk menghindari kesimpang-siuran kategorisasi jawaban dan argumen saya nantinya ke dalam kelompok yang salah. Lagipula, saat ini, banyak sekali aliran filsafat yang pernah muncul tentang ketuhanan sehingga diperlukan syarat sebagai pengandaian untuk meluruskan posisi filosofis saya]. Pengandaian tersebut adalah: Pertama, Tuhan itu ada. Kedua, dengan cara-cara tertentu, saya bisa berhubungan dengan Tuhan. Ketiga, cara saya berinteraksi dengan Tuhan tidak sama dengan cara berinteraksi saya dengan manusia. Bermodalkan tiga premis dasar di atas, saya menjawab bahwa hubungan saya, Anda, kita manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang bersifat transenden. Dalam hubungan ini, seperti yang dimodalisasikan oleh premis ketiga, kita tidak berinteraksi dengan Tuhan selayaknya kita berinteraksi dengan warga dunia. Kita melampaui semua batasan dan pengertian interaksi yang ada, dan keadaan melampaui yang demikian adalah keadaan yang transenden.

Lantas apakah karena transendensi/pelampauan yang demikian, kita harus melampaui diri kita sendiri untuk mencapai Tuhan? Lantas apa pula yang dimaksud dengan melampaui diri itu? Tanpa ingin berputar-putar tentang konsep transendensi dan pelampaun diri, saya akan langsung membuat sebuah batasan tegas tentang apa yang disebut transendensi diri dalam berhubungan dengan Tuhan. Menurut saya, dalam hubungan saya-Tuhan, melampaui diri saya sendiri adalah: Jauh masuk ke wilayah hati/nurani/jiwa saya yang terdalam. Melepaskan banalitas/ketidakberartian keseharian. Fokus sepenuhnya terhadap apa yang kita lakukan dalam sarana berhubungan dengannya [entah itu berdo’a, menyebut nama-Nya dsb.] Tiga jawaban di atas sekaligus bisa menjadi alasan mengapa Tuhan menyeru kita untuk beribadah dan berhubungan dengan Nya di malam hari.


Penutup

Demikianlah jawaban-jawaban filosofis saya, semoga Anda senang membacanya walaupun saya yakin Anda akan lebih senang kalau mencari jawabannya dengan membaca buku karangan filsuf terkenal, siapapun dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pojok Komentar !!! :D